Latest Entries »

Minggu, 17 April 2011

Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya

By. Muhammad Takbir

A. RiwayatHidup

Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razilahir di Rayy, pada tanggal satu sya’ban, tahun 251 H/ 865 M.[1] Beliau pada masa remajanya adalah seorang penukar intang dengan emas. Di satu sisi disebutkan juga sebagai seorang pemain kecapi.[2] Dan beliau meninggalkan music dan beralih belajar kimia. Dalam bidang kimia pun beliau menghabiskan waktu selama betahun-tahun dan pada akhirnya meninggalkan menekuni kimia dikarenakan menderita penyakit mata yang diakibatkan oleh penelitian yang dilakukannya, yang menyebabkannya mencari dokter dan obat-obatan.[3] Hal ini sekaligus mengantarkannya untuk mempelajari ilmu-ilmu kedokteran. Ia sangat rajin munekuni ilmu ini. Beliau belajar oleh seorang guru yang bernama ‘Ali ibn Rabban al-Thabari (al-Qifti, Usaibi’ah), adalah seorang dokter dan Filsuf yang lahir 192 H/ 808 M.[4] disini pulalah awal ketertarikan al-Razi pada bidang Filsafat. Ini dikarenakan pula oleh gurunya yang seorang ahli kitab suci dan seorang pendeta yahudi.

Al-Razi lebih dikenal sebagai seorang dokter. Karena beliau pernah memimpin sebuah rumah sakit di Rayy ketika Mansur bin Ishaq ibn Asad menjadi gubernur Rayy. Al- Razi menulis kitab al-Tibb al- Mansuri dan mempersembahkanya pada Mansur ibn Ishaq ibn Ahmad.[5] Kitab ini hadir sebagai bentuk penolakan atas asumsi-asumsi al-Nadim. Al-Razi pun pindah ke Bagdad dan menjadi pemimpin rumah sakit di sana pada masa keKhalifahan Muktafi.

Setelah kematian al-Muktafi (295/907), al-Razi dikatakan kembali ke Rayy di mana dia mempunyai banyak pelajar. Beliau dikelilingi oleh murid-murinya yang ingin belajar olenhya. Apabila seseorang sampai pada persoalan saintifik, Hal ini disampaikan kepada para pelajar, bahwa metode yang digunakan dalam pengajarannya adalah tanya-jawab. Sekiranya mereka tidak mengetahui jawabanannya, ia disampaikan kepada 'pertanyaan pertama' dan seterusnya, sehingga padaa khirnya, apabila kesemua yang lain telah gagal memberikan jawaban dan akhirnya sampai kepada al-Razi sendiri.[6] Kita tahu bahwa salah seorang dari pada muridnya menjadi pakar kedokteran. Al-Razi merupakan seorang yang pemurah, dengan sifat perikemanusiaan terhadap orang-orang sakit, dan murah hati terhadap orang-orang miskin, Dia seringkali memberikan mereka perawatan penuh tanpa mengenakan mengharapkan imbalan, ataupun dalam bentuk bayaran yang lain. Apabila dia tidak bersama muridnya atau pasienya, dia sentiasa menulis dan belajar.

Fakta ini mungkin menjadi puncak pada semakin melemahkan penglihatannya sehingga menyebabkan dia menjadi buta pada kedua belahmatanya. Sesetengah mengatakan bahawa puncak kebutaanya disebabkan dia makan terlalu banyak kacang. Penyakit matanya bermula dengan katarak dan berakhir dengan buta sepenuhnya. Issu yang kemudian beredar,bahwa ia enggang dirawat, karena telah begitu banyak melihat dunia sehingga akan dia tidak lagi ingin melihatnya." Bagaimanapun, ini kelihatannya sebagai lelucuan dan bukannya berdasarkan fakta sejarah. Salah seorang pengikutnya dari Tabaristan datang untuk menjaganya, tetapi, menurut al-Biruni, dia enggan dirawat dan mengistiharkannya. penglihatannya tidak berguna lagi, Kerana waktu matinya telah dekat. Beberapa hari kemudian dia meninggal di Rayy, pada 5 Sha'ban 313/27 Oktober 925.[7] Sebuah kenyataan bahwa beliau meninggal dalam usia lanjut dan secara alami dan menunjukkan sikap toleransi yang sangat besar dari warga kota Rayy.[8]

B. Karya-Karyanya

Al-Razi memiliki banyak karya, baik itu ilmu tentang kedokteran maupun karya-karya filsafatnya. Sekalipun banyak yang mengatakan bahwa al- Razi memiliki kehidupan hedon, karena al-Razi adalah seporan yang kaya raya. Beliau memiliki banyak rumah dan kehidupan yang mapan. Tapi al-Razi bukan tipe orang yang suka dengan hura-hura dan kehidupan yang berlebihan. Kecintaannya pada pengetahuan tidak pernah berubah dan sangat komitmen pada minatnya dalam pengetahuan. Ini dapat dilihat oleh orang-orang bersamanya mulai dari masa remajanya sampai pada akhir hayatnya.

Ketekunannya dan pengabdiannya pada pengetahuan sangatlah ekstrim sehingga, beliau dalam setahunya dapat menulis dua puluh ribu halaman lebih dengan tangan ibarat pembuat jimat.[9] Beliau adalah orang yang sangat produkti dalam menulis. Karya-karya al-Razi yang paling menumental adalah karyanya dalam bidang kedokteran dan beberapa karya Filsafat. Al-Razi merupakan seorang dekter “Islam” yang tak pernah tertendingi. Adapun karya dalam bidang al-Razi kedokteran antara lain;

Kitab al-Tibb al- Mansuri

Kitab ini al-Razi persembahkan kepada gebernur Dinasti Samaniyya di Rayy,[10] al-Mansur ibn Ishaq ibn Ahmad (w. 313 H/ 925 M). isi dari kitab ini adalah tentang kedokteran dan perawatan kesehatan, didalamnya berisi tentang praktik-praktik kedokteran. Namun hanya sedikit yang kemudian meberi penjelasan lebih lanjut mengenai karyanya ini.

Karyanya ini diterjemahkan beberapa kali oleh institusi-institusi pendidikan yang selanjutnya menjadi rujukan dalam pendidikan formal ilmu kedokteran. Pada abad ke-12 karya ini diterjemahkan dalam bahasa latin oleh Gerard dari Cremona[11] dan menjadi rujukan utama pada abad ini. Dan selanjutnya diterjemahkan menjadi liber nonus yang masih di gunakan di eropa abad ke-16.

Kitab al-Jami’ Al-Kabir dan Kitab Al-Hawi fi Al-Thibb

Kitab ini merupakan jurnal dan catatan medis pribadi al-Razi.[12] Karya ini diterbitkan sebelum beliau meninggal. Al-hawi secara harfia adalah “kumpulan”, karena merupakan kumpulan dari catatan-catatan harian dan jurnal-jurnal medis al-Razi yang kemudia dikumpulkan oleh murid-murid beliau hingga terangkum menjadi sebuah buku besar. ‘Ubadillah ibn Jibril menjelaskan bagaimana kitab ini dipelihara di bawah lindungan dan dukungan sarjana dan militer Ibn Al-Amid[13] yang pada msa itu menjadi Wasir Rukn Al-Daulah pada tahun 327 H/ 939 M. karya ini terdapat 25 jilid, yang merupakan yang merupakan teks kedokteran Arab, dan selanjutnya di terjemahkan dalam bahasa latin, yang diperuntukkan kepada Raja Charles dari Anjou.[14] Ini diterjemahkan oleh seorang dokter Yahudi Farj Ibn Salem, dan menyita banyak waktunya dalam menerjemahkan buku ini.[15]

Karya Filsafat Al-Razi

Dalam karya-karya filsafatnya, pemikiran al-Razi sangat kontroversial sehingga banyak kemudian diantara para filsuf melakukan kritik terhadap pemikirannya, bahkan benya diantara mereka yang menolak bahkan merasa jijik dengan pemikiran al-Razi, wa;laupun mereka itu dipengaruhi olehnya dalam bentuk mengeluarkan bantahan.[16] Namun kita tidak boleh menegasikan pemikiran dari al-Razi, sebagai sebuah pemikiran yang sangat prestisius dan monumental dalam mengahasilkan karya-karyanya, dan sekaligus merupakan warna yang berbeda yang diberikannya dalam dunia Filsafat. Di antara karya-karya filsafat beliau antara lain;

Al –Tibb al-Ruhani

Secara harfiah al-Tibb al-Ruhani berarti “Pengobatan Rohani”. Karya ini merupakan kelengkapan dari karyanya yang sebelumnya al-Tibb al- Mansuri. Karya ini telah dilupakan bahkan bahkan tidak tidak pernah diketahui sama sekali[17] pada zaman sekarang ini. Dalam kitabnya ini memuat bagaimana pengobatan rohania berimplikasi pada Ahklatul-Karimah. Di dalamnya memuat tentang berbagai penyakit mental, sebab-sebab yang menimbulkannya, dan bagaimana mengobatinya.[18] Al-Razi memandang bagaimana keeratan ilmu kedokteran dan etika memiliki hubungan yang bersifat mutlak, dimana dikedokteran bukan hanya menangani hal-hal yang bersifat fisikal semata.Para ilmuan muslim memang menyejajarkan etika dengan kedokteran, baik baik dilihat dari kepentingannya maupun metodenya.[19] Kalau sekarang ilmu kedokteran lebih parsial pada hal-hal yang pengobatan tubuh lahiriah saja. Karena itu menurut al-Razi, kita juga membutuhkan ilmu etika dan penerapannya dalam tindakan kita untuk memelihara kesehatan atau mental,[20] sehingga beliau melakukan komparisi antara ilmu etika dan ilmu kedokteran.

Kitab Al- Shirat al- Falsafiyyah

Al-Razi mengemukakan dalam kitabnya ini, bagai mana life style yang dijalaninya. Beliau dengan lugas dan terbuka mengemukan pola hidupnya, selain itu ia juga mengemukakan bantahan terhadap mereka yang mempermasalahkan hedonisme filsafatnya,[21] sekalipun dengan nada yang agak gusar dia anggap sebagai pengkrik yang tak jantan.[22]

Dalam masalah praktik, saya dapat mengatakan bahwa dengan bantuan Tuhan saya tidak pernah melampaui batas-batas atas dan bawah (dari pemenuhan kehendak hati dan pengekanan-diri ) sebagaimana yang telah saya tetapkan. Segala perbuatan saya hanya mengungkapkan jalan filosofis. Saya bergaul dengan penguasa buakan sebagai kaki-tangan atau abdi Negara, tetapi sebagai dokter dan teman., bergelut dengan penyakit untuk merawatnya dan meningkatkan kondisi badannya atau kesehatannya sebagai seorang sahabat dan penasehat. Satu-satunya ambisi saya, karena itu bantulah saya, kesejahteraannya dan kesejahteraan rakyat. Tidak seorangpun pernah melihat saya mengejar harta, membelanjakan secara berlebih-lebihan atau bertikai, bertengkar ataupun bersikap tidak jujur. Setiap orang tau bahwa saya tidaj seperti itu semua, bahkan saya kadang-kadang sampai mengabaikan hak-hak saya sendiri.[23]

Maqalah fi ma ba’d al-Tabi’ah

Karya terakhir ini adalah palsu,karna secara salah dianggap sebagai karya al-Razi.

Al-Syuluk ‘ala Proclus,

Kitab ini dipersipkan oleh Kraus untuk disunting, sebelum ditemukan jazadnya di atas lembaran- lembaran keras setelah bunuh diri. Tidak ada satu pun dari karya Filsafat al-Razi yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa latin kecuali dari karya kedokterannya.

C. Pemikirannya Filsafat Al-Razi

Pemikiran filsafat al-Razi sangat Aristotelian. Dalam pangangannya ia mengklaim bahwa kedokteran bersandar pada filsafat,[24] dan menegaskan praktik yang baik itu bergantung pada pemikiran yang bebas.[25] Beliau adalah filsuf yang paling bebas dan berani menentang hal-hal yang lazim yang bersifat konvensinal dalam masyarakat dan berani menantang filsuf islam. Kata al-Razi untuk menjadi seorang filsuf seseorang haruslah terhindar dari sektarianisme dan dogmatisme mazhab, serta segala juba-juba otoritas yang menghalangi kita untuk sampai pada kebenaran.

Dalam melihat segala sesuatu al-Razi melacaknya dengan dengan metode filsafat helenisme, lewat citra-citra visual dari objek kemata dan syaraf optik, kemudian diproses oleh jiwa. Jiwalah yang menjadi substansi dalam diri manusia, sedangkan otak hanyalah sebagai alat, seperti organ-organ tubuh yang lain.

Filsafat al-Razi yang paling menumental adalah pendepatnya tentang lima kekekalan. Menurut al-Biruni, al-Razi telah melaporkan kekekalan lima hal dari yunani kuno.[26] Apa yang diangapnya kekal, antara lain adalah, al-Bari Ta’ala (Tuhan), al-Nafs al-Kulliyyah (Jiwa Universal), al-Hayula al-Ula (Materi pertama), al-Makan al-Muthlaq (Ruang Mutlak), al-Zaman al-Muthlaq (Waktu Mutlak).[27] Inilah yang menjadi landasan dasar dari filsafatnya. Beliau mengatakan bahwa dalam kemaujudan dalam lima hal tersebut memerlukan kesadaran bahwa materi tersusunan dan selalu berhubungan dengan ruang, karena materi selalu menempati ruang, sehingga megharuskan akan ada ruang, sehingga ruang ini bersifat mutlak adanya. Sedangkan pergantian bentuk merupakan penjelasanakan keberadaan waktu. Didalamnya terdapat gerak, sehingga, kita mampu mengetahui ada yang dahulu dan ada yang sekarang serta ada yang akan datang. Karena waktu pula sehingga kita mengenal masa lampau dan masa kekinian. Dan segala keberadaan yang ada bumi ini memerlukan Jiwa, karena hukum yang mengatur haruslah sepenunnya sempurna. Kerena itulah Tuhan memberikan akal kepada manusia sebagai alat untuk menuju pada kebenaran.

Lima kekekalan dalam pemikiran al-Razi itu antara lain;

1. Al-Bari Ta’ala (Tuhan).

Kebijakan dan kebaikan Tuhan adalahsempurana .Segala yang bersifat ataupun hal-hal yang mengarah pada ketidaksempurnaan Tuhan haruslah dinegasi dari Tuhan. Tuhan merupakan sumber dari segala keberadaan, sebab dari segala sebab. Dalam dirinya bergauntung segala sesuatu. Keberadaannya adalah suatu keniscayaan, karena jika diri-Nya tidak ada maka tidak akan ada lagi yang ada, namun realitasnya manusia, alam dan yang lain telah ada, maka sebuah keniscayaan akan akan adanya “Pengada” (Tuhan). Apabila seseorang berfikir bahwa sebab itu tidak berujung maka seseorang akan rerjebak pada “nihilsme”. Analogi Tuhan, seperti matahari yang memancarkan sinarnya, yang menyinari semua alam semesta tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Kecuali mereka yang jauh darinya. Bukan matahari yang menjauhi dirinya, akan tetapi ia yang menjauhi matahari.

2. Al-Nafs al-Kulliyyah (Jiwa Universal)

Tuhan tidaklah menciptakan dunia dengan desakan apapun, tetapi ia memutuskan untuk menciptakannya setelah pada mulanya tidak berkehendak untuk menciptakannya. Karena itu harus ada yang bersifatabadi yang bersikap untuk memutuskan hal itu.

Keabadian lain adalah Jiwa yang hidup, tetapi ia bodoh.[28] Karena Jiwa terlalu mencintai materi dan membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagian bendawi. Tetapi materi menolak, sehingga Tuhan campur tangan dalam membantu Jiwa. Lewat bantuan inilah, Tuhan menciptakan di dalamnya bentuk-bentuk dan dunia itu sendiri, yang di dalamnya Jiwa memperoleh kebahagian jasmani. Kemudian Tuhan menciptakan manusia dari dzat ketuhanannya, lewatinilah Tuhan menciptakan intelegensia manusia guna menyadarkan Jiwa dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah sejatinya.

Namun manusia tidak akan sampai pada dunia sejati jika meraka tidak belajar filsafat, karena dengan belajar filsafat seseorang akan sampai pada dunia yang sejati dan memperoleh pengetahuan baik dan buruk.[29] Jiwa akan tetap berada dalam dunia sampai manusia disadarkan oleh kesadaran filsafat. al-Razi juga mengemukakan bahwa; bukan akal saja yag menjadi pembeda manusia dengan binatang, dalam memahami realitas, tertapi yang juga merupakan prinsip yang mengatur “dalam jiwa, yang berkat keunggulanya dapat menjami pengekangan nafsu dan penyempurnaan Ahklaq.[30]

3. Al-Hayula al-Ula (Materi pertama)

Materi pertama terdiri dari atom-atom. Atom merupakan bagian terkcil pada materi menurut mereka yang berparadigma atomistik, atom-atom ini mempunyai volume. Bila dunia ini dihancurkan maka bumi ini terbelah-belah hingga menjadi atom. Dengan demilkian materi berasal dari kekekalan, karena itu kita tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari ketiadaan. Al-Razi mengadopsi dan mengadaptasi atomisme Epicurus untuk kepentigannya[31] dalam bentuk formulasi baru pemikirannya.

Al-Razi kemudian mengajukan dua alasan sebagai penunjang argumentasinya akan kekekalan materi.

Pertama, penciptaan merupakan salah satu bukti, kekekalan materi. Sehingga kita tidak bisa menegasikanakan adanya pencipta. Apa yang diciptakan itu adalah materi yang tebentuk.[32]Karenanya kita terlebih dahulu membuktikanakan adanya pencipta sebelum membuktikan akan adanya yang dicipta.

Kedua, adalah ketidak mungkinan pencipta berasal dari ketiadaan. Karena Tuhanlah sebagai sebab dari segala sebab (preme muver), yang darinya semua yang ada ini meng”ada”. Diciptakannya manusia lebih oleh Tuhanhanya hanya sekejap dan lebih mudah dari pada menyusun sesuatu dalam ribuan tahun.

Tuhan dan Jiwa berada di luar ruang dan waktu. Materi diperluas oleh ruang dan waktu tepapi bukan sepanjang ruang dan waktu, sehingga menyisakan ruang kekosongan. Materi belum bergerak.[33] Dalam hal ini materi belum menempati ruang dan belum terikat oleh ruang waktu.

4. Al-Makan al-Muthlaq (Ruang Mutlak)

Ruang merupakan tempat dari materi, maka ada ruang kekal atau mutlak. Ruang merupakan bentuk nyata dari Tuhan. Potensi gerak dalam materi menuntut jiwa mengaktualisasikannya; dan pikiran memberikan tatanan baginya, dan penciptaan ini kemudian menjadi Formatio mundi;[34] menjadikan ruang menjadi absolut. Pandangan al-Razi ini bebeda dengan Aristoteles yang memandang bahwa ruang itu relatif.

Dalam melihat ruang al-Razi membaginya menjadi dua, yaitu; ruang mutlak dan ruang yang relatif. Dalam ryang yan mutlak inilah yang kemudian dianggapnya sebagai sesuatu yang kekal, dan merupakan ruang kosong yang belum ada materi di dalamnya. Bila tidak demikian, maka akan muncul pertanyaan, jika “ruang mutlak” itu tidak ada maka keberadaan Tuhan itu dimana? Kemudian bagaimana Tuhan menciptakan ruang relative tempat dari materi jika tak ada ruang yang mutlak? Akankah tuhan lansung saja mencipkannya dengan tangannya?. Sedangkan ruang relatif menurut al-Razi seperti ruang yang kita tempati sekarang ini. Konsekuensi al-Razi dalam menerima konsep kekosongan (ruang mutlak) dan realitas ketiadaan yang sepertinya paradoksal sebagai taruhan dari kosmogoninya.[35]

5. Al-Zaman al-Muthlaq (Waktu Mutlak)

Aristoteles mengakui bahwa, waktu merupakan landasan sesuatu untuk menjadi materi, landasan universal bagi setiap perubahan.[36] Waktu meniscayakan akan adanya proses gerak pada terjadi pada materi. Waktu mutlak menurut al-Razi tidak terbagi-bagi dan tidak dapat dipahami, karena tidak meiliki entitas-entitas, sementara kita dapat memahami waktu lewat entitas dan partikularitasnya. Seperti apa yang dipahami oleh Martin Heidegger tentang relasi “waktu” dengan “ada”,[37] yang memandang ada dari dimensi kesementaraan “ada”.[38] Dimana yang ada tidak ada yang kekal dalam dimensi waktu, kerena waktu yang dipahaminya sebagi mana waktu yang senantiasa berganti.

Pada mulanya ketika belum ada gerak, jiwa universal ingin menyatukan dirinya dengan materi, kerena keinginanya inilah sehingga ia membaurkan dirinya dengan materi, sehingga menyebabkan dunia bergerak tidak teratur dan kacau.[39] Tuhan kemudian campur tangan di dalamnya dengan memberikan pengetahuan kepada jiwa dana tatanan gerak-gerak alam,[40] yang membuat adanya waktu. Tetapi dalam hal ini adalah waktu yan relatif, sama dengan waktu yang kita pahami, seperti memahaminya kita tentang, ada masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang, ada hari kemarin, sekarang dan jari esok. Sama hal Plato yang membagi mejadi dua dunia lewat teori dualismenya, Dunia kekal dan dunia kemenjadian, dimana “ada” dipahami sebagai kekekalan, sedangkan waktus sebagi kesementaraan.[41]

D. Pengaruhya

· Kedokteran (penyakit Cacar campak)

Karyanya tentang cacar telah diterjemahkan lebih dari 12 kali kedalam bahasa latin dan Eropa lainnya.[42] Dalam pengobatan campak ini al-Rasi melakukan sebuah formulasi baru dalam bidang kedokteran yang merupakan pengobatan khas medis al-Razi dan bergantung pada metode hippoctes,[43] dengan tidak menggunakan dogmasisme.

Berbagai karya al-Razi yang dapat ditemukan sekarang yang telah diterjemahkan dalam bahasa inggris, bahkan banyak dintara karyanya yang menjadi buku utama dalam instansi-instansi pendidikan formal dibarat yang dijadikan sebagai buku utama abad ke-12 sampai abad ke-16. Ini merupakan sebuah pengaruh dalam budang kedokteran. Namun, jika hal itu dibandingkan dengan ilmu kedokteran hari ini sangatlah tertinggal, ini dikarenakan keterbatasan alat observasi dan semaki kompleksnya pengetahuan. Akan tepapi beliau telah memberikan kontibusi yang sangat besar dalam bidang kedokteran yang menjadi inspirasi pada perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya.

Pakar perobatan Al-Razi telah pun menyadari bahwa betapa pentingnya kebersihan, seperti yang dapat dilihat dalam petelitiannya yang nampak dalam rumah sakit Audidi. Al-Razi telah menggantungkan daging yang baru pada beberapa tempat yang di cadangkan dalam rumah sakit Audidi dan memilih tempat daging yang paling lambat menjadi busuk. Konsep kebersihan udara dan tempat telah disedari oleh pakar kedokteran Islam masa itu.

· Filsafat (Penolakan Terhadap Kenabian)

Salah satu pengaruhnya dalam bidang filsafat adalah pemukiranyan yang bebas yang banyak menginspirasi generasi selanjutnya. Akibat dari pemikiran bebasnya hingga sampai pada kesimpulan akan pada penolakannya pada kenabian. Hal ini mengakibatkan munculnya riak dari para Filsuf selanjunya, seperti Al-Farabi dan Ibn Sina yang membuat bantahan sehingga keluarlah tulisannya tentang Filsafat Kenabian. Ini merupakan sebuah dialektika pengetahuan yang pernah ada dalam dunia Islam.

Pemikirannya tentang lima kekekalan tersebut yang sangat konroversial ini, mengarahkanya pada penolakan akan kenabian, al-Razi mengemukakan bahwa “kalau seseorang manusia telah mengembanhkan rasionalitasnya dengan sempurna, dia tidak lagi membutuhkan kenabian”.[44] Bagaimana seseorang dapat berfikir secara filosofis sementara mereka masih percaya pada dogma-dogma dan cerita-cerita yang bersifat irrasional. Menurut al-Razi, Tuhan tidaklah diskriminatif kepada hambanya dengan membeda-bedakannya antara satu dengan lain. Bahkan beliau mengemukakan, “Bagaimana anda percaya bahwa tuhan lebih mencintai seorang manusia sebagai standa umat manusia, yang membuat manusia yang lain bergantung padanya?[45] Menurutnya, Bukankah Tuhan Maha Bijaksana dan Maha Adil, sehingga terhindar dari perbuatan-perbuatan ketidak adilan dan diskriminasi.

Bagimana mungkin Tuhan memilih seorang manusia, untuk saling membunuh, menimbulkan pertumpahan darah, perang dan konflik.[46] Menurutnya agama yang didasarkan pada wahyu, sering kali menimbulkan konflik dari pada sumber harmoni, karena masing-masin agama menklaim bahwa agama mereka saja yang benar.[47] Dan tidak menyisakan ruang-ruang yang lain dari agamanya. Hanya dangan akallah manusia dapat dipersatukan. Dari argumentasinya ini mendapat bantahan dari khawja Nasar Al-Din, jika akal yang kemudian menjadi perekat kemanusiaan, bagaimana mungkin idelisme plato bersatu dengan realisme Aristoteles.

Pandangan al-Razi diatas, dikemukakan pula oleh Betrand Russel bahwa, agama memperjuangkan moralitas dan nilai, namun fakta yang kemudian muncul adalah kekacauan dan konflik yang terjadi dimana-mana atas nama agama. Apa yang dianggap nilai oleh agama adalah kelansungan hidup bahwa ia bisa digunakan sebagai justifikasi untuk membunuh yang lain guna mempertahankan hidup seseorang.[48] Apakah institusi yang digunakan untuk membunuh dianggap penting?. Ia dipuji dalam puisi dan ditanamkan dalam pedidikan[49] sebagai sesuatu yang penting dan disakralkan. Bahkan sisitem keagamaan yang berlaku hanya menghambat perkemabangan seoran individu. Agama hanya bersifat menindas.[50] Kalau agama di anggap mengemban misi moralitas, tapi mengapa kemudian yang ada adalah penindasan agama, dan hal tersebut tercatat dalam sejarah peradaban umat manusia.

Penolakan akan kenabian al-Razi banyak di adopsi oleh pemikir bebas barat, khusunya mereka yang yang menolak agama bahkan menolak keberadaan Tuhan(Ateis). Bahkan penulis berasumsi bahwa Betrand Russel pun mengadopsi pemikiran al-Razi, namun dengan sebuah formulasi baru dan wujud baru.


[1] M.M. Syarif, M.A. Para Filsuf Muslim, (Mizan; Bandung, 1992), h.

[2] Ibid.

[3] Ibid

[4] Fihrist, h. 296; al-Baihaqi, h, 22; Usaibi’ah, Vol.I, h. 309, diktip dalam M. M. Syarif. Loc. cit.

[5] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), History of Islam philosophy, (Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam), ter. Tim Penerjemah Mizan, Buku Pertama, (Cet. I: Bandung; Mizan, 2003), h. 243.

[6] M. ibn Al-Hasan Al-Waraq, yang mengutip orang yang hidup sezaman, yang berusia lebih tua dan mengenal al-Razi, tertera dalam Al-Nadim, fihrist, penerj. Dodge: 701-2, dikutip daLam, Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., 248.

[7] Terjadi perbedaan tahun wafatnya, antara sejarah yang ditulis oleh al-Nadim dan sejarah yang tulis oleh al-Birini.

[8] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: sebuah Respon Terhadap Moderenitas, (Jakarta; Erlangga, 2007), h. 93.

[9] Dalam Paus Kraus, Abi Muhammad filii Zachatiae Raghensis (Razis) Opera Philosophica Fragmantaque Quae Supersunt, (kairo, 1939; Pars Parior, semua telah diterbitkan, dicetak ulang, beriut, 1973); 109-10. Dikitip dalam Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., 247.

[10] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., 243.

[11] Ibid

[12] Hawi’, diterbitkan di Hyderabad dalam bahasa Arab pada tahun 1955. Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., 244.

[13] Ibid

[14] Ibid

[15] Ibn Abi Ushabi’ah, Uyun Al-Anba’ fi Thabagat Al-Attibba’, (kairo, 1882), 1; 314, lihat, M. Meyerrof, Thirthy-three Clinical Observations by Rhazez, Isis, 23 (1935): 321-56. Dikitip dalam, Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Ibid.

[16] Ibid.

[17] Mulyadi Kartanegara, Menembus Ruang dan Waktu: Panorama Filsafat Islam, (Cet. II: Bandung; Mizan, 2005), h. 79.

[18] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik, (Cet. I: Bandung; Arasi Mizan, 2005), h. 94.

[19] Mulyadi Kartanegara, Nalar Relegius: Memehami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia, (Cet. II: Bandung; Mizan, 2005), h. 49.

[20] Ibid

[21] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman, Op. Cit., h. 247.

[22] Ibid.

[23] Dalam Paus Kraus, Abi Muhammad filii Zachatiae Raghensis (Razis) Opera Philosophica Fragmantaque Quae Supersunt (kairo, 1939; Pars Parior, semua telah diterbitkan, dicetak ulang, beriut, 1973); 109-10. Dikitip dalam Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Loc. Cit..

[24]Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., h. 249

[25] Ibid

[26] E. Sachau, Alberuni’s India, London ,1910, Vol. I, h. 319 dikutip dalam M.M Syarif. Op. Cit, h.

[27] Mulyadi Kartanegara, Nalar Relegius: Memehami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia., h. 63

[28] M.M. Syarif, Op. Cit, h.

[29] Ibid.

[30] Abu Bakr Muhammad bin Zakaria al-Razi, al-Tibb al-Rohaniyyah (Pengobatan Rohani), terj. Nasrullah dan Dedi Muhammad Hilman, (Bandung; Mizan, 1995), h. 31-32, dikitip dalam Mulyadi Kartanegara, Op.Cit. h.49

[31] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., h. 253.

[32]M.M.Syarif, Op. Cit, h.

[33] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Loc. Cit.

[34] Ibid.

[35] Ibid.

[36] Ibid.

[37] Doni Gahral Adian, Martin Heidegger: Seri tokoh Filsafat, (Cet. I: Jakarta; Teraju, 2003), h. 66.

[38] Ibid

[39] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., h. 252.

[40] Bdk. Njm Al-Din Al-Qaswini tentang kitab Muhashshal Al-Afkar Al-Mutaqaddimin wa Al-Muta’akhirin min Ulama’ wa al-Hukama’ Al-Mutakallimin, karya fakhr Al-Din Al-Razi, dalam Kraus: 23, yang didalamnya menjelaskan bahwa bagi Al-Razi meteri dan waktu bersifat kekal, tetapi bentuk bersifat temperal dan terbagi-bagi. dalam Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Ibid.

[41] Doni Gahral Adian, Op. Cit., h. 68.

[42] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., h. 245.

[43] Lihat W. A. Greenhill, penerj. A Treatise on the smallpox and Measles (London, 1847); P. de Koning, penerj. Traite sur le Calcul, les Reins et la Vessie (leiden, 1896), dalam, Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Loc. Cit.

[44] Marshall Hodgson, The Venture of Islam, h. 259. Dalam, Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: sebuah Respon Terhadap Moderenitas, h. 92.

[45] Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Op. Cit., h. 251.

[46] Munazharat, ed. Kraus: 295. Karya al-Razi, The Tricks of The Profet atau Ruses of The Self-Styled Profet, dikutip dalam al-Biruni; 17, dalam, Seyyed Hussein Nasr dan Oliver Leaman (Ed.), Loc. Cit.

[47] Mulyadi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: sebuah Respon Terhadap Moderenitas, Loc. Cit.

[48] Betrand Russel, Russel and Religion, (Bertuhan Tanpa Agama; Agama, Filsafat dan Sains), terj. Imam Baehaqi, (Cet. II: Yogyakarta; Resist Book, 2009), h. 73

[49] Ibid

[50] Ibid, h. 75

0 komentar:

Posting Komentar