Latest Entries »

Minggu, 17 April 2011

Perempuan dan Simbol Perlawanannya; “Melacak Sosio-Historis Gerakan Perempuan

Oleh: Ulfa Ilyas

(Artikel Ini Diterbitkan Dalam Rangka Peringatan Hari Kartini)

Sejarah memberikan banyak contoh tentang para perempuan yang memiliki kekuas
aan, keberanian dan bakat yang luar biasa. Para perempuan semacam itu kita kenal sebagai kaisar-kaisar perempuan dan ratu-ratu yang terkenal, pejuang-pejuang perempuan yang gagah berani, orang-orang suci, tukang-tukang sihir perempuan, ilmuwan-ilmuwan perempuan, penyair-penyair perempuan dan seniman-seniman perempuan. Mereka adalah orang-orang yang terkenal dalam sejarah kaum perempuan. Namun mereka tidak lebih dari pengecualian-pengecualian individual yang tidak (dan tak bisa) berpengaruh atau memajukan secara nyata status dari mayoritas luas kaum perempuan awam dan tertindas. Kita bisa melihat Boadicea (61M), prajurit ratu yang menentang pendudukan Roma atas inggris, Ratu Elisabeth II (1533-1603) penguasa besar kerajaan Inggris yang menginspirasi renaisans Inggris, Kaisar catherina yang Agung(1729-1796) orang Jerman memerintah rusia selama 35 tahun, Sappho (650 SM) penyair besar pada masa Yunani kuno.

Di Indonesia, kita mengenal ada ratu Sima, penguasa kerajaan Kalingga di jawa tengah. kemudian ada Cut Nyak Dien (1850-1908), seorang perempuan Aceh yang gagah berani dalam melawan Belanda, Laksamana Malahayati( 1585-1604), Cristina Marta Tiahahu (Maluku) dan juga Cut Mutia (aceh). Selain itu kita juga mengenal R.A Kartini(1879-1904), anak dari seorang pejabat tinggi, menetang poligami, perkawinan paksa dan penjajahan, dan menyerukan hak-hak perempuan terhadap pendidikan, kartini juga mendirikan sebuah sekolah untuk gadis-gadis dengan 120 orang muridnya-namun dia meninggal secara tragis saat melahirkan anak pada usia 25 tahun.

Dalam sejarah, yang dituliskan oleh Frederick engels dalam bukunya: asal-usul keluarga, kepemilikan pribadi dan Negara, bahwa perempuan pernah menjadi pemimpin politik di fase-fase awal perkembangan masyarakat, terutama tribalisme. Dalam masyarakat Indian Iroquis, misalnya, kedudukan perempuan dan laki-laki benar-benar setara. Bahkan, semua laki-laki dan perempuan dewasa otomatis menjadi anggota dari Dewan Suku, yang berhak memilih dan mencopot ketua suku. Jabatan ketua suku dalam masyarakat Indian Iroquis tidaklah diwariskan, melainkan merupakan penunjukan dari warga suku melalui sebuah pemilihan langsung yang melibatkan semua laki-laki dan perempuan secara setara. Keadaan ini berlangsung sampai jauh ke abad ke 19. Dalam masyarakat Jermania, ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi, berlaku juga keadaan yang sama. Kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya. Peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa adalah juga anggota dari Dewan Suku.Demikian pula yang berlaku di tengah suku-suku Schytia dari Asia Tengah. Di tengah mereka, bahkan perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang.

Penyebab Terjadinya Diskriminasi Kaum Perempuan

Penyebab dari persoalan-persoalan yang dirasakan perempuan bukanlah hanya sekedar persoalan Mentalitas atau karena persoalan fisik, atau persoalan biologis saja, tapi persoalan itu dikarenakan ada faktor histories dan ideologis yang menyebabkan kenapa kaum perempuan tertinda:.


(1) Patriarkhi-Patriarkhi berasal dari bahasa Yunani:Patria Berarti bapak, dan Arche berarti aturan. merupakan istilah antropologis yang digunakan untuk merumuskan kondisi sosiologis anggota laki-laki suatu masyarakat cenderung menguasai posisi kekuasaan; semakin berkuasa mereka, maka makin kuat dorongan seorang laki-laki untuk memegang posisi tersebut. Istilah patriarkhi juga dipergunakan dalam sistem tingkat-tingkatan kepemimpinan laki-laki dalam hirarki gereja atau lembaga agama. Patriarkhi adalah sebuah ideologi yang mengukuhkan dominasi laki-laki/maskulinitas atas kaum perempuan/female, ideologi ini muncul bukanlah dalam proses alamiah(kodrat/sudah semestinya) tetapi lebih pada faktor histories.

Patriarkhi muncul pada saat pertanian mulai dianggap hal yang sangat penting untuk menghasilkan bahan makanan yang banyak dan untuk bisa bertahan hidup. Data-data arkeologi dan antropologi menunjukkan bahwa manusia mulai bertani ketika mereka terdesak oleh perubahan kondisi alam, di mana kondisi yang baru tidak lagi memberi mereka kemungkinan untuk bertahan hidup hanya dari berburu dan mengumpul bahan makanan.

Setelah Patriarkhi mulai menampakkan dirinya dengan dimulai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dari masa pertanian hingga masa sekarang, semakin diperjelas lagi perwujudannya dalam kehidupan kaum perempuan pada masa sekarang. Ini dibuktikan dengan mendominasinya peran laki-laki terhadap perempuan dalam berbagai hal; dalam hal keluarga(Rumah tangga) laki-laki sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah keluarga sedangkan perempuan hanya ditempatkan dalam wilayah domestic saja yang cukup dengan melahirkan,merawat, memasak dan mengurus anak-anak dan keluarga. Dalam hal diskriminasi, perempuan sering mendapat batasan-batasan baik itu dalam hal pekerjaan maupun dalam masyarakat . Bahwa perempuan itu lemah, perempuan itu bersifat emosional dan keibuan, perempuan itu tugasnya hanya bekerja dirumah mengurus rumah tangga, perempaun itu tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi karena nantinya juga akan pergi kedapur dan mengurus keluarga. Hal-hal yang seperti inilah yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempaun secara langsung, belum lagi atuaran-aturan atau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang diskriminasi terhadap perempuan.

(2) kapitalisme-Neoliberalisme

Kapitalisme telah melahirkan wujud barunya dengan bentuk Neo-Liberalisme. Dan ini akan menjadi pukulan untuk rakyat miskin, karena neo-liberalisme adalah cara baru untuk penguasaan secara langsung sumberdaya di negara terbelakang oleh penguasa-penguasa modal di negara-negara maju, ini berarti membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Ini dibuktikan dengan diambilnya paket-paket kebijakan yang di bawah oleh Neoliberalisme, berupa paket kebijakan perdagangan bebas, swastanisasi dan pemotongan subsidi, itu semuanya adalah paket-paket untuk membuat agar tuan-tuan modal bisa mengeruk sebesar-besarnya kekayaan yang ada di negara-negara miskin, bisa dengan leluasa menanamkan modal mereka, sehingga bisa berkembang biak, bisa bertambah kaya.

Kapitalisme telah melemparkan kaum perempuan, menjadi buruh-buruh upahan, menjadi bagian dari baling-baling industrialisasi, bersanding dengan mesin-mesin pabrik. Perempuan-perempuan dari golongan Rakyat miskin itu bagi kapitalisme adalah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang murah. Dari desa-desa, kaum perempuan miskin itu ditarik ke kota menjadi buruh-buruh pabrik, penjaga-penjaga toko, pelayan-pelayan restoran, pembantu orang-orang kaya, dan bahkan, karena kerja-kerja yang bermartabat tidak mereka dapatkan lagi, mereka bekerja menjadi pelacur-pelacur. Sedangkan perempuan-perempuan yang tidak tertampung untuk bekerja di Indonesia yang semakin sempit lapangan pekerjaanya, dibuang ke luar negeri, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Di luar negeri, karena hanya tenaga yang mereka miliki, dengan sedikit ketrampilan untuk kerja-kerja rumah tangga, sering kali diperlakukan sewenang-wenang, dilucuti hak-hak sebagai manusia. Tidak ada yang bisa mengingkari lagi, sudah beribu-ribu TKW di Indonesia yang diperlakukan sewenang-wenang. Dari diperkosa, disiram dengan air panas, disetrika punggungnya, dipukul, bahkan ada yang sampai gila. Apakah kaum perempuan memang diciptakan untuk diperlakukan seperti itu?!

Kesadaran bahwa penindasannya bersifat histories, hanya dalam fase-fase tertentu dalam perkembangan masyarakat, kaum perempuan mulai bangkit untuk mengorganisasikan perlawanan. Perempuan pertama yang menyadari hal ini adalah perempuan perancis yang terpicu oleh kebangkitan revolusi perancis menjungkirbalikkan tirani feudal. Revolusi telah menjadi ide dalam pergerakan perempuan. Revolusi perancis juga telah memberikan inspirasi kepada perempuan seluruh dunia soal persamaan hak, kebebasan, dan kemerdekaan. Kaum perempuan yang tergabung dalam sans-colluttes­- yang kebanyakan adalah tukang cuci, penjahit, pelayan toko, dan buruh melakukan demostrasi ke pusat kota paris, menuntut roti yang murah. Mereka perempuan-perempuan Jacobin, telah menjadi inspirasi kebangkitan bagi perempuan dibelahan dunia lain, untuk melawan dunia feudal yang merusak dan menyesatkan.

Di Indonesia, seiring dengan perluasan pengaruh politik etis dalam pergaulan kaum pribumi, telah muncul seorang perempuan dari keturunan aristocrat yang menentang patriarkhi dan sistem kolonialisme. Ya, R.A Kartini merupakan pelopor dalam kebangkitan kaum perempuan di Indonesia. lewat catatan-catatannya “habis gelap, terbitlah terang”, Kartini menjadi sosok perempuan yang berani menentang budaya dan sistem yang meminggirkan kaum perempuan. Selain Kartini, di Jawa Barat ada Dewi Sartika, rohana kudus, dan lain-lain. Organisasi perempuan mulai tumbuh dan menyebar, ibarat cendawan yang tumbuh dimusim hujan. Suasana negeri jajahan seperti Indonesia dimana semangat nasionalisme mulai tumbuh, telah menjadi ‘penyubur’ bagi tumbuh dan berkembannya gerakan perempuan. “Benih itu ditanam pada lahan yang subur”. Tidak mengherankan kalau memasuki awal abad ke-20, mulailah berdiri organisasi perempuan modern. Tahun 1912 lahirlah organisasi perempuan Putri Merdika. Setelah organisasi ini berdiri, bermunculanlah organisasi perempuan yang lain. Di Garut pada tahun 1920 berdiri Wanodyo Oetomo, sementara itu pada tahun 1925 berdiri Puteri Serikat Isalam, dll. Mungkin ada sedikit yang menarik disekitar tahun 1940, yaitu tentang berdirinya serikat buruh perempuan.

Dari gambaran diatas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan tentang pembangunan gerakan perempuan, yaitu: (1). Bahwa kesadaran perempuan akan pengertian mereka adalah second sex lahir dari perkembangan pendidikan dikalangan kaum perempuan. Perluasan pengaruh politik etis telah menggiring perempuan berpendidikan kepada sebuah kesadaran baru akan keberadaan kaumnya dalam sistem sosial. (2). Kesadaran untuk membentuk organisasi sebagai alat perjuangan modern. Kaum perempuan saat itu, sangat menyadari arti penting organisasi untuk menghimpun kaum perempuan dalam perjuangan. (3). Bahwa dalam menghancurkan bentuk sistem-sistem yang menindas perempuan, perjuangan perempuan tidak boleh terpisah dengan perjuangan rakyat terhisap.

(1). Organisasi perempuan

Pembangunan organisasi perempuan merupakan kebutuhan mendesak saat ini. Organisasi akan mengambil peranan dalam pengorganisasian dan menghimpun kaum perempuan dalam platform perjuangan. Penghancuran gerakan perempuan tahun 1965-1966, kemudian terus diintensifkan dibawah rejim Orde Baru, juga disertai dengan pemberangusan organisas-organisasinya, terutama yang berideologi kiri. Tanpa sebuah organsiasi perjuangan akan mustahil menuju kemenangannya. Harus diakui sampai saat ini belum ada gerakan perempuan bersekala nasional, yang ada hanya gerakan perempuan lokal, itupun masih dengan ‘isi kepala’ yang berbeda-beda, sehingga gerakan yang ada masih terpecah-pecah. Watak organisasinyapun juga tidak boleh sektarian, dalam artian harus terlibat aktif dengan gerakan sektor rakyat tertindas lainya – buruh, tani, kaum miskin perkotaan, mahasiswa. Sekali lagi haruslah dipahami bahwa masalah penindasan terhadap perempuan, bukan masalah perempuan semata, tapi juga masalah dari rakyat tertindas lainya. Juga harus menjadi kesadaran, sudah saatnya membangun jaringan dengan gerakan perempuan yang ada di negara lain, apa yang dirasakan perempuan di Indonesia juga dirasakan oleh perempuan di negara lain.

Organisasi perempuan yang akan kita bangun harus terlibat seaktif-aktifnya dalam upaya perjuangan rakyat Indonesia, dengan mengupayakan integrasi semaksimal mungkin dengan kelompok-kelompok demokratik lainnya. Juga sebaliknya, dengan upaya tanpa ragu-ragu terus meyakinkan berbagai unsur dalam gerakan demokratik agar selalu memberikan dukungan dan solidaritas kepada perjuangan kaum perempuan, dalam bentuk apapun yang memungkinkan. Karena hanya dengan menggenapkan Revolusi Demokratiklah, kaum perempuan akan mendapatkan ruang politik yang jauh luas dan bebas, juga akses ekonomi yang relatif lebih baik, untuk memperjuangkan kesetaraan dan melenyapkan diskriminasi, baik diskriminasi gender, maupun kelas-kelas sosial.

(2). Gerakan politik perempuan

Organisasi perempuan mulai menjadi politis baru terlihat pada tahun 1920-an, ketika organisasi-organisasi politik yang besar seperti Sarekat Islam, Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI) mempunyai divisi perempuan. Organisasi-organisasi perempuan ini mempunyai anggota yang bervariasi dalam latar belakang sosial dan politiknya. Cakupannya meliputi tingkat kelas menengah-bawah yang meluas. Isu-isu yang dilontarkan adalah seputar partisipasi perempuan dalam politik dan keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan (decision-making). Pada suasana seperti inilah hadir Soekarno yang pada akhir tahun 1920-an mulai mengemuka sebagai tokoh nasionalis. Ia mulai terlibat dalam politik pada tahun 1926, dan satu tahun kemudian pada tahun 1927 ikut menggagas PNI. Ketika Kongres Ibu diadakan pertama kali pada tanggal 22 Desember 1928, Soekarno mengambil kesempatan ini untuk mengemukakan pendapatnya tentang perempuan. Mau tidak mau, perjuangan perempuan harus merupakan perjuangan politik. Penindasan yang menindih kaum perempuan merupakan penindasan yang berlapis; sisa-sisa feudal dan sistem kapitalisme yang sekarang berkuasa. Hakekat perjuangan politik adalah bahwa pembebasan perempuan ataupun emansipasi perempuan, hanya akan dimungkinkan, kalau perempuan masuk dalam arena perjuangan politik. Harus diakui bahwa selama ini intervensi partai terhadap gerakan perempuan amat minim. Dalam prakteknya, selama bertahun-tahun kerja-kerja pengorganisasian, advokasi dan kampanye persoalan-persoalan perempuan telah menempatkan sejumlah LSM sebagai kiblat dan mainstream gerakan perempuan. Karenanya, berbagai isu yang menyangkut langsung kepentingan dan tubuh perempuan seperti persoalan aborsi, kebebasan untuk memakai dan memilih kontrasepsi, kekerasan dalam rumah tangga, pelacuran (bukan pekerja seks), dll., telah terdistorsi oleh kelompok-kelompok itu. Upaya memoderasi gerakan perempuan terus dilakukan dalam berbagai bentuk, mulai dari penolakan terhadap tuntutan –tuntutan pergantian pemerintah, memagari aktivitasnya dari keterlibatan partai politik revolusioner semacam PRD, sampai mereduksi ekspresi perlawanan kaum perempuan yang seharusnya diradikalisasi dan didorong maju, menjadi sekedar ekspresi seni budaya yang kosong dan sunyi dari besarnya energi dan tenaga kaum perempuan sendiri untuk melawan.

0 komentar:

Posting Komentar